Mutiara IndoTV, Kota Kupang – NTT. Suatu bangunan yang sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun, pastilah menyimpam kisah awal berdirinya bangunan tersebut. Sejak kapan di bangun, serta alasan di bangun, semunya di kisahkan lewat cerita yang di rangkul menjadi sejarah bangunan tersebut seperti layaknya sejarah kehidupan Manusia.
Seperti halnya Bangunan Gereja yang di bangun oleh Masyarakat kelurahan Fatukoa kecamatan Maulafa Kota Kupang kala itu di tahun 1950, dengan nama Gereja Luz Fatukoa. Bangunan Gereja yang sudah berumur puluhan tahun tersebut, sampai sekarang masih berdiri dengan megahnya di wilayah kelurahan Fatukoa dengan jumlah ratusan jemaat yang selalu mengembangkan Iman/pengharapan bagi Sang Pencipta dan selanjutnya di terapkan bagi sesama Manusia terkhususnya di jemaat Luz Fatukoa.
Di awal berdirinya, tersimpan banyak kisah perjuangan yang di alami pada waktu itu, demi Masyarakat Fatukoa bisa mengenal dan berbakti pada sang Pencipta kehidupan di Bumi ini. Felipus Taebenu, Salah satu tertua adat di kelurahan Fatukoa dan juga merupakan saksi hidup pada saat itu yang berhasil di wawancarai, “menuturkan. Rabu, (16/05/18).
Sebelum berdirinya Gereja tersebut Masyarakat kelurahan Fatukoa masih kebanyakan hidup dalam kegelapan.
“Dahulunya sebelum Gereja ini ada, kebanyakan kami belum mengenal ibadah. Karena belum ada orang yang ahli dalam bidang ke agamaan. “Tuturnya.
Ia pun menceritakan sebelum mendirikan bangunan Gereja tersebut, masyarakat kelurahan Fatukoa masih di pimpin oleh seorang Raja yaitu Raja Nisnoni. “Dahulunya kami masih di pimpin oleh Raja Nisnoni, bahkan kota kupang pun di pimpin olehnya”. Katanya.
“Sekitar tahun 1948, bangunan Gereja belum ada. Tapi salah satu tokoh yang bernama Nimrot Tetebaki sudah mengajar beribadah pada masyarakat, tapi itu di bawah pepohonan, pinggiran Kkali dan sebagainya karena memang belum ada bangunan.
” Lanjutnya, dia mengatakan setelah berhasil membuat sebuah Gubuk bangunan. Untuk di pakai beribadah, maka datanglah seorang Pendeta yang berasal dari Amarasi yang bernama Esau Amtiran dan Istrinya bernama Rahel Amtiran.
” Saat kami sudah berhasil membuat sebuah gubuk untuk bisa beribadah, maka kami dapatkan satu orang Pendeta yang bernama Esau Amtiran, dan pensiun di tahun 1950″. Jelasnya.
“Di tahun 1950, Nimrot Tetebaki mendatangkan salah seorang pendeta yang bernama Thobias Nenot’ek. Saat itu lah Gereja mulai didirikan, agar bisa layak jadi bangunan. Peletakan batu pertama ialah Josep Baikole, yang sebagai tukang dan Titus Nau sebagi kepala Desa.
Lonceng Gereja pun kami pikul dari oesapa Penfui yang diberikan oleh keluarga Isliko”. Tutur Felipus.
Sementara itu, di waktu yang bersamaan, Melkias Asanab sebagai tertua adat di wilayah itu yang juga berhasil di wawancarai mengatakan sebelum datangnya Pendeta Thobias Nenot’ek Gereja belum mempunyai nama saat itu.
” Waktu itu nama Gereja belum ada, kami hanya Gereja saja. Pak Thobias Nenot’ek datang barulah memberi nama pada Gereja kami yaitu Luz yang di ambil dari kitab Kejadian 28 tentang Mimpi Nabi Yakub di Betel. Nama ini pun banyak orang yang bertanya dan kagum mengenai Nama tersebut karena hanya mempunyai tiga huruf saja”. Katanya.
Ia juga memperkirakan di tahun 1952, Gereja sempat Pecah menjadi dua karena ada konflik dalam internal.
“Sekitar tahun 1952, Gereja sempat terbagi. Saat itu Frans Niuflapu sempat mendirikan sebuah Gereja yang jaraknya tidak jauh, nama Gereja itu Bintang Timur. Jemaat nya pun hanya keluarganya saja, mereka lama beribadah di Gereja tersebut dan sempat juga merayakan Natal. Tapi setelah kasus PKI barulah mereka kembali dan bergabung ke Gereja Luz”. Tuturnya.
Ia menuturkan, pada kisaran tahun 1954, dua orang tokoh masyarakat sempat pergi menghadap Raja di Kupang demi mendapatkan meterial bantuan untuk pembangunan Gereja tersebut. “Sekitar tahun 1954, karena keterbatasan dana, maka Hermanus Kolmate dan Pither Bana pergi menghadap Raja untuk bisa dapatkan bantuan berupa Seng dan sebagainya. Raja pun mengatakan pada kami untuk bisa mengatap sementara memakai dedaunan, “tuturnya.
“Seiring berjalannya waktu, maka raja pun mengabulkan permintaan kami, sehingga mendapatkan bantuan berupa Seng. Saat itu, masyarakat dari Desa Oelomin, bahkan Desa Bone pun datang dan Gereja disini”. Jelasnya.
Kisah Gereja Luz Fatukoa yang begitu panjangnya, kini masih berdiri dengan kokohnya. Walaupun sudah termakan usia puluhan tahun, bangunan tembok yang sudah mulai kusam, dan berbagai material lainnya yang sudah termakan usia, namun masih tetap berdiri sebagai Icon kebanggaan masyarakat kelurahan Fatukoa dalam penghidupan Iman dan kasih pada Sang Juru Selamat.
(Yapi Manuleus) ( mutiaraindo.tv )